Antri. Masalah satu ini bisa dibilang cukup emosional buat saya. Butuh perjuangan, melatih kesabaran dan melatih emosi. Dan bicara soal antri, ini juga salah satu problem di Indonesia. Tau sendiri lah, masih banyak orang yang masih ogah ngantri. Main sela sana-sini, dan nggak mau peduli sama orang yang sudah berdiri untuk antri jauh sebelumnya.
Beberapa hari lalu saya mengalami satu hal yang berkaitan soal antri-mengantri yang cukup bikin saya naik pitam. Kesel sampe ubun-ubun. Jadi, sepulang kuliah sekitar jam setengah satu siang, saya pergi ke pom bensin di daeran Babarsari. Matahari cukup terik, dan antrian di bagian sepeda motor cukup panjang. Saya ada di antrian tersebut. Setelah penantian panjang selama 5 menit (gimana nggak panjang, panasnya naujubile), akhirnya giliran saya hampir sampai. Tinggal menunggu 2 motor di depan saya selesai diisi tangki bensinnya. Tapi tiba-tiba, sret! Datang tiga ekor motor langsung menyela antrian, berusaha mengambil tempat di depan saya. Saya kesel bukan main.
Belum sempat saya protes, mendadak dua laki-laki di belakang saya memprotes orang-ogah-antri tersebut, "Mas, tolong antri ya, Mas. Antrinya dari belakang sana. kasian yang udah ngantri dari tadi panas-panas." Teguran biasa. Tidak ada kata kasar, tidak dengan nada membentak. Dua dari tiga motor yang tadi menyela antrian tadi dengan sukarela berbalik dan mulai mengantri di belakang. Tapi masih ada satu motor yang kekeuh. Ngeyel.
Orang di belakang saya kembali menegur untuk antri. Tapi si orang-ogah-antri ini malah menjawab, "sudah antri kok tadi!" Ya ampuuun, jawaban bodoh. Saya akhirnya buka mulut, "Antrinya di mana, Mas? Tetep aja posisinya di belakang saya sama mas-mas ini kan? Antrinya dari ujung sana tu, Mas. Bukan dari sini." Dua laki-laki di belakang saya mendukung saya. Hampir berbarengan mereka meminta si orang-ogah-antri itu untuk kembali ke barisan antrian di belakang sana.
Apa yang terjadi selanjutnya bener-bener bikin saya pengen ketawa keras-keras, pengen marah sejadi-jadinya. Walaupun ditegur secara baik-baik, tidak dengan kata-kata kasar, nada ancaman, ataupun kemarahan, si orang-ogah-antri itu marah. Dia malah keluar dari antrian. Sambil meninggalkan pom bensin, motornya di bleyer (saya bingung menulis bleyer dalam Bahasa Indonesia. Tau kan, motor di-gas sekencang mungkin sampai bunyinya kemana-kemana) keras-keras, berkali-kali, memasang ekspresi marah, dan jari tengahnya teracung ke arah saya dan dua laki-laki di belakang saya yang tadi berusaha menegur. Saat itu saya yakin kalau orang-ogah-antri yang sepertinya mahasiswa itu tidak berotak, bermental cemen, dan butuh pelatihan khusus tentang antri selama 40 hari 40 malam.
Bener-bener nggak ngerti lah sama orang model begini. Dan kejadian-kejadian macam begini sudah sering sekali saya liat. Apa sih susahnya antri??